ETIKA ORANG BERIMAN :
UCAPAN YANG BAIK, MEMULIAKAN TETANGGA DAN MENGHORMATI TAMU
Alhamdulillah wash sholatu was salamu ala Rasulillah wa ba’du..
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ
لِيَصْمُتْ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
ضَيْفَهُ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir,
hendaklah ia berkata baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada
Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. [HR al-Bukhâri dan
Muslim].
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6018, 6136, 6475), Muslim (no. 47), Ahmad (II/267, 433, 463), Abu Dawud (no. 5154), at-Tirmidzi (no. 2500), Ibnu Hibban (no. 507, 517-at-Ta’lîqâtul-Hisân), al-Baihaqi (VIII/164).
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6018, 6136, 6475), Muslim (no. 47), Ahmad (II/267, 433, 463), Abu Dawud (no. 5154), at-Tirmidzi (no. 2500), Ibnu Hibban (no. 507, 517-at-Ta’lîqâtul-Hisân), al-Baihaqi (VIII/164).
SYARAH HADITS
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia mengerjakan ini dan itu”.
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia mengerjakan ini dan itu”.
Menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah perkara iman.
Sebagaimana yang telah jelas bahwa amal perbuatan termasuk dari iman.
Perbuatan-perbuatan iman terkadang terkait dengan hak-hak Allah, seperti
mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Dan
termasuk dalam cakupan perbuatan-perbuatan iman, ialah berkata yang baik atau
diam dari selainnya. Perbuatan-perbuatan iman juga terkadang terkait dengan
hak-hak hamba Allah, misalnya memuliakan tamu, memuliakan tetangga, dan tidak
menyakitinya. Ketiga hal itu diperintahkan kepada seorang mukmin, salah satunya
dengan mengucapkan perkataan yang baik dan diam dari perkataan yang jelek.[1]
Dalam Shahîhain dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ
لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا فِي
النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ.
Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata yang tidak ia teliti kebenarannya,
ucapannya itu menyebabkannya tergelincir di neraka lebih jauh dari pada jauhnya
antara timur dan barat.[2]
Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ
لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا
يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ
مِنْ سَخَطِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ.
Sesungguhnya seseorang mengatakan satu kalimat yang diridhai Allah dan ia
tidak menaruh perhatian terhadapnya, melainkan Allah akan mengangkatnya
beberapa derajat. Sesungguhnya seorang hamba mengatakan kalimat yang dimurkai
Allah dan ia tidak menaruh perhatian terhadapnya melainkan ia terjerumus dengan
sebab kalimat itu ke Jahannam.[3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ أَكْثَرَ
خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِيْ لِسَانِهِ.
Sesungguhnya kesalahan anak Adam yang paling banyak terletak pada
lisannya.[4]
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hendaklah ia berkata
baik atau diam”.
Adalah perintah untuk berkata baik dan diam dari perkataan yang tidak baik atau sia-sia. Jadi, adakalanya perkataan itu baik sehingga diperintahkan diucapkan. Dan adakalanya perkataan itu tidak baik dan sia-sia, sehingga diperintahkan untuk diam darinya. Allah Ta’ala berfirman:
Adalah perintah untuk berkata baik dan diam dari perkataan yang tidak baik atau sia-sia. Jadi, adakalanya perkataan itu baik sehingga diperintahkan diucapkan. Dan adakalanya perkataan itu tidak baik dan sia-sia, sehingga diperintahkan untuk diam darinya. Allah Ta’ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ
قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat
pengawas yang selalu siap (mencatat). [Qaf/50:18].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ
إِلَى الصَّلَاةِ فَلاَ يَبْصُقْ أَمَامَهُ فَإِنَّمَا يُنَاجِى اللهَ مَا دَامَ
فِي مُصَلَّاهُ ، وَلَا عَنْ يَمِيْنِهِ فَإِنَّ عَنْ يَمِيْنِهِ مَلَكًا ،
وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ ، أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ ، فَيَدْفِنُهَا.
Jika salah seorang dari kalian berdiri shalat, maka janganlah ia meludah
di depannya karena sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Rabb-nya selama ia
berada di tempat shalatnya; jangan pula ke sebelah kanannya karena di sebelah
kanannya ada seorang malaikat; tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kiri atau
ke bawah kakinya, dan hendaklah ia mengubur ludahnya itu.[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا مِنْ قَوْمٍ
يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلَّا قَامُوْا عَنْ
مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ ، وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةٌ.
Tidaklah satu kaum berdiri dari satu majelis, mereka tidak mengingat
(berdzikir) kepada Allah di dalamnya, melainkan mereka seperti berdiri dari
bangkai keledai dan mereka mendapatkan kesedihan.[6]
Dari sini dapat diketahui bahwa perkataan yang tidak baik hendaknya tidak
diucapkan, lebih baik diam, kecuali jika sangat dibutuhkan. Sebab, banyak
berbicara yang tidak bermanfaat membuat hati menjadi keras.
‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa banyak bicara, banyak pula
kesalahannya; barang siapa banyak kesalahannya, banyak pula dosanya; dan barang
siapa banyak dosanya, maka nerakalah yang lebih layak baginya”.[7]
Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya lalu berkata: “Lidah
inilah yang membuatku berada di tempat-tempat yang membinasakan”.[8]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada ilah
yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, tidak ada sesuatu pun yang lebih
berhak di penjara dengan lama daripada lisan.”[9]
Alangkah indahnya apa yang dikatakan ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far, seorang
faqih penduduk Mesir pada zamannya, ia termasuk salah seorang ahli hikmah,
beliau berkata: “Apabila seseorang berbicara di suatu majlis lalu perkataannya
membuatnya takjub, maka hendaklah ia diam. Dan apabila ia diam lalu diam itu
membuatnya takjub, hendaklah ia berbicara”.[10]
Kesimpulannya, selalu diam secara mutlak, atau menganggap diam sebagai
bentuk taqarrub di sebagaian ibadah seperti haji, i’tikaf, dan puasa adalah
dilarang.[11]
3. Di antara perkara yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan
kepada kaum mukminin dalam hadits ini, ialah memuliakan tetangga.
Dalam sebagian riwayat terdapat larangan menyakiti tetangga karena menyakiti tetangga hukumnya haram. Sebab, menyakiti tanpa alasan yang benar itu diharamkan atas setiap orang. Tetapi dalam hak tetangga perbuatan menyakiti itu lebih berat keharamannya.
Dalam sebagian riwayat terdapat larangan menyakiti tetangga karena menyakiti tetangga hukumnya haram. Sebab, menyakiti tanpa alasan yang benar itu diharamkan atas setiap orang. Tetapi dalam hak tetangga perbuatan menyakiti itu lebih berat keharamannya.
Dalam Shahîhain dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa beliau ditanya: “Dosa apakah yang paling besar?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi
Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu,” ditanyakan lagi: “Kemudian apa?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau membunuh anakmu karena
takut ia makan bersamamu,” ditanyakan lagi, “Kemudian apa?” Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”.[12]
Dalam Shahîh al-Bukhâri, dari Abu Syuraih Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ،
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ.
“Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak
beriman,” ditanyakan, “Wahai Rasulullah, siapa dia?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari
gangguannya”[13].
Adapun memuliakan tetangga dan berbuat baik kepadanya adalah
diperintahkan. Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ
وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ
وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Beribadahlah kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat,
ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang yang sombong dan membanggakan diri. [an-Nisâ`/4:36].
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menggabungkan hak-Nya atas manusia dan
hak-hak manusia terhadap manusia. Dan Allah menyebutkan orang-orang yang harus
disikapi dengan baik. Mereka ada lima kelompok.
Pertama. Orang yang masih dalam hubungan kekerabatan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebutkan orang tua secara khusus di antara mereka, karena keduanya
memiliki keistimewaan atas seluruh sanak kerabat, dan tidak ada satu pun dari
mereka yang mempunyai keistimewaan tersebut bersama keduanya, karena keduanya
menjadi sebab keberadaan anak, mempunyai hak mendidik, mengasuhnya, dan
lain-lain.
Kedua. Orang lemah yang membutuhkan kebaikan. Ini terbagi dua, yaitu:
orang yang membutuhkan karena kelemahan badannya, seperti anak-anak yatim; dan
orang yang membutuhkan karena sedikitnya harta, yaitu orang-orang miskin.
Ketiga. Orang yang memiliki hak kedekatan dan pergaulan. Allah Subhanahu
wa Ta’ala menjadikannya menjadi tiga kelompok, yaitu tetangga dekat, tetangga
jauh, dan teman sejawat.
Dalam Shahîh al-Bukhâri, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
“Aku berkata, ‘Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya aku memiliki dua orang tetangga.
Kepada siapakah aku memberikan hadiah?’ Beliau menjawab, ‘Kepada tetangga yang
paling dekat pintunya denganmu’.”[13]
Adapun teman sejawat, maka sebagian ulama menafsirkannnya dengan istri.
Sebagian lagi -di antaranya Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma – menafsirkannya
dengan teman dalam safar. Mereka tidak ingin mengeluarkan teman sejawat di
tempat mukim dari makna berkawan/persahabatan, namun persahabatan dalam safar
itu sudah cukup sebagai persahabatan. Jika demikian, tentu persahabatan
terus-menerus di tempat mukim itu lebih utama.
Oleh karena itulah, Sa’id bin Jubair berkata: “Ia adalah teman yang
shâlih”. Zaid bin Aslam berkata: “Ia adalah teman dudukmu ketika mukim dan
temanmu ketika safar”.
Dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan at-Tirmidzi, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin
al-Ash, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
خَيْرُ اْلأَصْحَابِ
عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ ، وَخَيْرُ الْـجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ
خَيْرُهُمْ لِـجَارِهِ.
Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah yang paling baik kepada temannya,
dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah tetangga yang paling baik kepada
tetangganya.[15]
Keempat. Orang yang datang kepada seseorang dan tidak menetap bersamanya,
yaitu ibnu sabil. Ia adalah musafir apabila singgah di suatu negeri.
Ada ulama yang menafsirkannya dengan tamu. Maksudnya, jika musafir singgah sebagai tamu pada seseorang.
Ada ulama yang menafsirkannya dengan tamu. Maksudnya, jika musafir singgah sebagai tamu pada seseorang.
Kelima. Hamba sahaya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsering kali
mewasiatkan kaum muslimin agar berbuat baik kepada mereka. Diriwayatkan bahwa
wasiat terakhir beliau ketika kematian menjemput ialah, “Shalat dan berbuat
baik kepada hamba sahaya yang kalian miliki.”[16]
Sebagian ulama Salaf memasukkan ke dalam ayat ini apa saja yang dimiliki
manusia berupa hewan ternak.
Kemudian dalam ash-Shahîhain, dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ
يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ.
Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, sehingga
aku mengira bahwa tetangga akan mewarisi.[17]
Di antara bentuk berbuat baik kepada tetangga, ialah memberikan keluasan
dan kemudahan ketika ia butuh. Dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Kekasihku (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) berwasiat kepadaku:
إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا
فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ
مِنْهَا بِمَعْرُوْفٍ.
“Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah
keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan baik”.
Dalam riwayat lain disebutkan:
يَا أَبَا ذَرٍّ! إِذَا
طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ.
“Wahai, Abu Dzarr! Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya dan
berikan sebagiannya kepada tetangga-tetanggamu”.[18]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:
لَا يَمْنَعْ جَارٌ
جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِيْ جِدَارِهِ.
Janganlah salah seorang dari kalian melarang tetangganya menancapkan kayu
di temboknya.
Setelah itu, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Mengapa kalian, aku
lihat kalian berpaling dari nasihat tersebut? Demi Allah, aku pasti melemparkan
kayu-kayu tersebut ke pundak-pundak kalian”.[19]
Pendapat Imam Ahmad rahimahullah ialah, hendaklah seseorang mengizinkan
tetangganya meletakkan kayu di temboknya jika dibutuhkannya, dan itu tidak
merugikan orang berdasarkan hadits yang shahîh ini.
Zhahir perkataan Imam Ahmad rahimahullah ialah, seseorang wajib membantu
tetangganya dengan kelebihan yang dimilikinya yang tidak merugikannya jika
tetangganya membutuhkannya.[20]
Dijelaskan oleh para ulama bahwa tetangga itu ada tiga.
• Tetangga muslim yang memiliki hubungan kerabat, maka ia memiliki tiga hak, yaitu: hak tetangga, hak Islam, dan hak kekerabatan.
• Tetangga muslim, maka ia memiliki dua hak, yaitu: hak tetangga, dan hak Islam.
• Tetangga kafir, ia hanya memiliki satu hak, yaitu hak tetangga.[21]
• Tetangga muslim yang memiliki hubungan kerabat, maka ia memiliki tiga hak, yaitu: hak tetangga, hak Islam, dan hak kekerabatan.
• Tetangga muslim, maka ia memiliki dua hak, yaitu: hak tetangga, dan hak Islam.
• Tetangga kafir, ia hanya memiliki satu hak, yaitu hak tetangga.[21]
Dan kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ
الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ.
Tidak dikatakan seorang mukmin, seorang yang kenyang, sedangkan tetangga
di sampingnya kelaparan.[22]
Al-Hasan berkata: “Bertetangga yang baik bukanlah menahan diri dari
mengganggunya, tetapi bertetangga yang baik ialah bersabar terhadap
gangguannya”.[23]
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang wanita
yang rajin shalat malam, puasa dan shadaqah, akan tetapi dia selalu mengganggu
tetangganya dengan lisannya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Kemudian disebutkan
lagi, ada wanita yang melakukan shalat wajib lima waktu dan dia suka
bershadaqah dengan keju dan tidak mengganggu seorang pun juga, maka Nabi
bersabda: “Dia termasuk ahli surga”.[24]
4. Di antara perkara yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan
kepada kaum mukminin dalam hadits ini, ialah memuliakan tamu, yaitu menjamunya
dengan baik.
Dari Abu Syuraih Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Kedua mataku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kedua telingaku mendengar ketika beliau bersabda:
Dari Abu Syuraih Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Kedua mataku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kedua telingaku mendengar ketika beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ. قَالَ : وَمَا
جَائِزَتُهُ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ ، وَالضِّيَافَةُ
ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ ، وَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ.
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan
tamunya dengan memberikannya hadiah”. Sahabat bertanya, “Apa hadiahnya itu,
wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Menjamunya)
sehari semalam. Jamuan untuk tamu ialah tiga hari, dan selebihnya adalah
sedekah”.[25]
Muslim juga meriwayatkan hadits Abu Syuraih Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
َالضِّيَافَةُ
ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ ، وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ ، وَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ
مُسْلِمٍ أَنْ يُقِيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ. قَالُوْا : يَا
رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ ؟ قَالَ : يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَ
لَا شَيْءَ لَهُ يَقْرِيْهِ بِهِ.
“Jamuan untuk tamu adalah tiga hari dan hadiah (untuk bekal perjalanan)
untuk sehari semalam. Tidak halal bagi seorang muslim menetap di rumah
saudaranya kemudian membuatnya berdosa”. Para sahabat bertanya: “Wahai,
Rasulullah! Bagaimana ia membuatnya berdosa?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallammenjawab: “Ia (tamu tersebut) menetap padanya, namun tuan rumah tidak
mempunyai sesuatu untuk memuliakannya”.[26]
Dalam hadits-hadits di atas dijelaskan, bahwa jamuan bagi tamu ialah untuk
bekal perjalanan sehari semalam dan jamuan ialah tiga hari. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam membedakan antara hadiah untuk tamu dan jamuan, bahkan
terdapat riwayat yang menegaskan hadiah untuk tamu.
Dalam ash-Shahîhain, dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya engkau mengirim kami, kemudian kami singgah di
kaum yang tidak menjamu kami, bagaimana pendapatmu?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami:
إِنْ نَزَلْتُمْ
بِقَوْمٍ ، فَأَمَرُوْا لَكُمْ بِمَا يَنْبَغِي لِلضَّيْفِ ؛ فَاقْبَلُوْا ،
فَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوْا ؛ فَخُذُوْا مِنْهُمْ حَقَّ الضَّيْفِ الَّذِيْ يَنْبَغِي
لَهُمْ.
“Jika kalian singgah di salah satu kaum, lalu mereka memberikan untuk
kalian apa yang layak diterima tamu, maka terimalah. Jika mereka tidak
melakukannya, ambillah dari mereka hak tamu yang harus mereka berikan”.[27]
Nash-nash ini menunjukkan wajibnya menjamu tamu selama sehari semalam, ini
adalah pendapat al-Laits dan Ahmad.
Imam Ahmad t berkata: “Tamu berhak menuntut jamuan, jika tuan rumah tidak
memberikannya, karena jamuan adalah hak wajib baginya.”
Adapun dua hari lainnya bagi tamu, yaitu hari kedua dan ketiga, itu adalah
puncak menjamu tamu. Setelah tiga hari, tuan rumah juga berhak menyuruh tamu
pindah dari rumahnya, karena ia telah menunaikan kewajibannya. Hal tersebut
dikerjakan Imam Ahmad.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa menjamu tamu itu wajib bagi orang
muslim dan orang kafir. Banyak sekali sahabat-sahabat Imam Ahmad yang
mengkhususkan kewajiban tersebut bagi orang muslim sebagaimana nafkah kerabat
yang berbeda agama itu tidak diwajibkan menurut satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dalam sebagian riwayat ada perkataan, “Tamu tidak halal tinggal di rumah
tuan rumah, kemudian menyulitkannya”.
Sesungguhnya menjamu tamu tidak wajib, kecuali atas orang yang memiliki
sesuatu untuk menjamu –ini pendapat sejumlah ulama hadits, di antaranya Humaid
bin Zanjawaih- maka tamu tidak boleh meminta dijamu oleh orang yang tidak bisa
menjamu.
Diriwayatkan dari hadits Salman Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
نَهَانَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَتَكَلَّفَ لِلضَّيْفِ مَا لَيْسَ
عِنْدَنَا.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami membebani diri
untuk tamu dengan sesuatu yang tidak kami miliki.[28]
Jika tuan rumah dilarang membebani diri untuk tamu dengan sesuatu yang
tidak dimilikinya, maka ini menunjukkan bahwa tuan rumah tidak wajib membantu
tamunya kecuali dengan sesuatu yang dimilikinya. Jika tuan rumah tidak memiliki
sesuatu pun, ia tidak wajib memberi tamunya. Namun, jika tuan rumah
mengutamakan tamunya daripada dirinya sendiri seperti yang dilakukan
orang-orang Anshar, dimana ayat berikut diturunkan tentang mereka,
وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ
أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“…Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun
mereka juga memerlukan….” – Hasyr/59 ayat 9-[29], maka itu hal yang baik dan mulia,
tetapi tidak wajib.
Jika tamu mengetahui tuan rumah tidak menjamunya kecuali dengan makanannya
dan makanan anak-anaknya, serta anak-anak menderita karenanya, maka tamu tidak
boleh meminta dijamu tuan rumah tersebut sebagai bentuk pengamalan dari sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
… وَ لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ.
… Tidak halal seorang bertamu hingga menyulitkan tuan rumah.[30]
Selain itu, menjamu tamu adalah bentuk infaq yang wajib. Jadi, infak
tersebut hanya diwajibkan kepada orang-orang yang makanan dirinya dan makanan
orang-orang yang ditanggungnya lebih, seperti infak kepada sanak kerabat dan
zakat fithri.
FAWÂ`ID HADITS
1. Iman adalah keyakinan dengan hati, ikrar dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.
2. Amal masuk bagian dari iman.
3. Iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari Akhir adalah rukun iman yang penting, karena mengingatkan kita kepada Allah yang pertama menciptakan, dan mengingatkan kita bahwa kita akan kembali kepada Allah dan akan dihisab.
4. Anjuran untuk menjaga lisan.
5. Kesalahan anak Adam yang terbanyak pada lisannya.
6. Wajib diam kecuali untuk perkataan yang baik, sesuai dengan sabda Rasulullah: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam”.
7. Islam mengajak kepada setiap perbuatan yang mengandung cinta kasih dan kerukunan di tengah masyarakat.
8. Anjuran untuk berakhlak mulia dan menjauhi akhlak yang jelek.
9. Wajibnya menghormati tetangga, dan penghormatan tersebut kembali kepada kebiasaan masyarakat di sekitarnya.
10. Wajibnya memuliakan tamu, baik tamunya sedikit maupun banyak.
11. Anjuran untuk bergaul dengan baik terhadap sesama kaum muslimin.
12. Memuliakan tamu yang wajib itu selama sehari semalam.
13. Penafian iman yang dimaksud dalam hadits adalah penafian kesempurnaannya bukan pokok imannya.
1. Iman adalah keyakinan dengan hati, ikrar dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.
2. Amal masuk bagian dari iman.
3. Iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari Akhir adalah rukun iman yang penting, karena mengingatkan kita kepada Allah yang pertama menciptakan, dan mengingatkan kita bahwa kita akan kembali kepada Allah dan akan dihisab.
4. Anjuran untuk menjaga lisan.
5. Kesalahan anak Adam yang terbanyak pada lisannya.
6. Wajib diam kecuali untuk perkataan yang baik, sesuai dengan sabda Rasulullah: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam”.
7. Islam mengajak kepada setiap perbuatan yang mengandung cinta kasih dan kerukunan di tengah masyarakat.
8. Anjuran untuk berakhlak mulia dan menjauhi akhlak yang jelek.
9. Wajibnya menghormati tetangga, dan penghormatan tersebut kembali kepada kebiasaan masyarakat di sekitarnya.
10. Wajibnya memuliakan tamu, baik tamunya sedikit maupun banyak.
11. Anjuran untuk bergaul dengan baik terhadap sesama kaum muslimin.
12. Memuliakan tamu yang wajib itu selama sehari semalam.
13. Penafian iman yang dimaksud dalam hadits adalah penafian kesempurnaannya bukan pokok imannya.
Marâji`:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
3. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
4. Az-Zuhd, karya Imam Ahmad.
5. Az-Zuhd, karya Imam Ibnul Mubarak.
6. Irwâ`ul Ghalîl fî Takhrîji Ahâdîtsi Manâris-Sabîl.
7. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
8. Kitâbush-Shamt, karya Ibnu Abid Dunya.
9. Kutubus-Sab’ah.
10. Mustadrak ‘alash-Shahîhain.
11. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
12. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
13. Raudhatul-‘Uqalâ wa Nuzhatul-Fudhalâ, karya Ibnu Hibban al-Busti.
14. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
15. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
16. Sunan ad-Darimi.
17. Sunan al-Baihaqi.
18. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
3. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
4. Az-Zuhd, karya Imam Ahmad.
5. Az-Zuhd, karya Imam Ibnul Mubarak.
6. Irwâ`ul Ghalîl fî Takhrîji Ahâdîtsi Manâris-Sabîl.
7. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
8. Kitâbush-Shamt, karya Ibnu Abid Dunya.
9. Kutubus-Sab’ah.
10. Mustadrak ‘alash-Shahîhain.
11. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
12. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
13. Raudhatul-‘Uqalâ wa Nuzhatul-Fudhalâ, karya Ibnu Hibban al-Busti.
14. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
15. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
16. Sunan ad-Darimi.
17. Sunan al-Baihaqi.
18. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/Sya’ban 1429/2008M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/333 )
[2]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6477), Muslim (no. 2988), Ibnu Hibban (no. 5677-at-Ta’lîqâtul-Hisân), dan al-Baihaqi (VIII/164).
[3]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6478) dan al-Baihaqi (VIII/165).
[4]. Hasan. HR Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush-Shamt (no. 18) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul- Kabîr (no. 10446).
[5]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 416), ‘Abdurrazzaq (no. 1686), al-Baghawi (no. 490), dan Ibnu Hibban (no. 2266- at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat Abu Hurairah
[6]. Shahîh. HR Ahmad (II/494, 527), Abu Dawud (no. 4855), an-Nasâ`i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 411), al-Hakim (I/492), dan Ibnu Hibban (no. 589- at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat Abu Hurairah.
[7]. Raudhatul ‘Uqalâ` wa Nuzhatul-Fudhalâ` (hlm. 43) karya Ibnu Hibban al-Busti.
[8]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Ya’ala (no. 5), Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush-Shamt (no. 13), Ibnus Sunni (no. 7), Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (no. 353), Ahmad dalam az-Zuhd (no. 561), dan selainnya.
[9]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Raudhatul-‘Uqalâ` (hlm. 46), Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush-Shamt (no. 16, 613), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8744-8747).
[10]. Kitâbush-Shamt (no. 97, 269).
[11]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/343).
[12]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 4477, 6001, 6811, 7520, 7532) dan Muslim (no. 86).
[13]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6016) dan Ahmad (II/288, 336).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2259, 2595, 6020).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no. 115), at-Tirmidzi (no. 1944), dan Ahmad (II/167-168).
[16]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/117), Ibnu Majah (no. 2697), dan Ibnu Hibban (no. 6571-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat Anas bin Mâlik .
[17]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6014, 6015), Muslim (no. 2624, 2625), Ahmad (VI/52), Abu Dawud (no. 5151), at-Tirmidzi (no. 1942), Ibnu Majah (no. 3673), dan Ibnu Hibban (no. 512-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[18]. Shahîh. HR. Muslim (no. 2625 (142, 143)), Ahmad (V/149), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 113, 114), dan Ibnu Hibban (no. 514, 515-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[19]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2463, 5627), Muslim (no. 1609), Ahmad (II/396), Abu Dawud (no. 3634), at-Tirmidzi (no. 1353), Ibnu Majah (no. 2335), dan Ibnu Hibban (no. 516-at-Ta’lîqâtul-Hisân).
[20]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/352)
[21]. Lihat Qawâ`id wa Fawâ`id (hal. 141).
[22]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no. 112), al-Hakim (IV/167), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 12741), dan al-Baihaqi (X/3) dari Sahabat Ibnu ‘Abbâs. Dishahîhkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dan Dishahîhkan juga oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 149).
[23]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/353).
[24]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no. 119), Ahmad (II/440), al-Hakim (IV/166), dan Ibnu Hibban (no. 2054- Mawâriduzh-Zham`ân) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 190).
[25]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6019) dan Muslim (no. 48).
[26]. Shahîh. HR Muslim (no. 48, Bab: adh-Dhiyâfah wa Nahwiha).
[27]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2461, 6137), Muslim (no. 1727), Ibnu Hibban (no. 5264-at-Ta’lîqâtul Hisân), dan al-Baihaqi (IX/197).
[28]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam at-Târikhul-Kabîr (II/386), Ahmad (V/441), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 6083, 6084, 6187), dan al-Hakim (IV/123).
[29]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 4889) dan Muslim (no. 2054) dari Sahabat Abu Hurairah.
[30]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6135), Muslim (no. 48), Ahmad (IV/31), Abu Dawud (no. 3748), at-Tirmidzi (no. 1968), dan Ibnu Majah (no. 3675) dari Sahabat Abu Syuraih al-Ka’bi.
_______
Footnote
[1]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/333 )
[2]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6477), Muslim (no. 2988), Ibnu Hibban (no. 5677-at-Ta’lîqâtul-Hisân), dan al-Baihaqi (VIII/164).
[3]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6478) dan al-Baihaqi (VIII/165).
[4]. Hasan. HR Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush-Shamt (no. 18) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul- Kabîr (no. 10446).
[5]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 416), ‘Abdurrazzaq (no. 1686), al-Baghawi (no. 490), dan Ibnu Hibban (no. 2266- at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat Abu Hurairah
[6]. Shahîh. HR Ahmad (II/494, 527), Abu Dawud (no. 4855), an-Nasâ`i dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah (no. 411), al-Hakim (I/492), dan Ibnu Hibban (no. 589- at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat Abu Hurairah.
[7]. Raudhatul ‘Uqalâ` wa Nuzhatul-Fudhalâ` (hlm. 43) karya Ibnu Hibban al-Busti.
[8]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Abu Ya’ala (no. 5), Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush-Shamt (no. 13), Ibnus Sunni (no. 7), Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (no. 353), Ahmad dalam az-Zuhd (no. 561), dan selainnya.
[9]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Raudhatul-‘Uqalâ` (hlm. 46), Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush-Shamt (no. 16, 613), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8744-8747).
[10]. Kitâbush-Shamt (no. 97, 269).
[11]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/343).
[12]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 4477, 6001, 6811, 7520, 7532) dan Muslim (no. 86).
[13]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6016) dan Ahmad (II/288, 336).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2259, 2595, 6020).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no. 115), at-Tirmidzi (no. 1944), dan Ahmad (II/167-168).
[16]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/117), Ibnu Majah (no. 2697), dan Ibnu Hibban (no. 6571-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat Anas bin Mâlik .
[17]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6014, 6015), Muslim (no. 2624, 2625), Ahmad (VI/52), Abu Dawud (no. 5151), at-Tirmidzi (no. 1942), Ibnu Majah (no. 3673), dan Ibnu Hibban (no. 512-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Sahabat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[18]. Shahîh. HR. Muslim (no. 2625 (142, 143)), Ahmad (V/149), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 113, 114), dan Ibnu Hibban (no. 514, 515-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[19]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2463, 5627), Muslim (no. 1609), Ahmad (II/396), Abu Dawud (no. 3634), at-Tirmidzi (no. 1353), Ibnu Majah (no. 2335), dan Ibnu Hibban (no. 516-at-Ta’lîqâtul-Hisân).
[20]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/352)
[21]. Lihat Qawâ`id wa Fawâ`id (hal. 141).
[22]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no. 112), al-Hakim (IV/167), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 12741), dan al-Baihaqi (X/3) dari Sahabat Ibnu ‘Abbâs. Dishahîhkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dan Dishahîhkan juga oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 149).
[23]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/353).
[24]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad (no. 119), Ahmad (II/440), al-Hakim (IV/166), dan Ibnu Hibban (no. 2054- Mawâriduzh-Zham`ân) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 190).
[25]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6019) dan Muslim (no. 48).
[26]. Shahîh. HR Muslim (no. 48, Bab: adh-Dhiyâfah wa Nahwiha).
[27]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2461, 6137), Muslim (no. 1727), Ibnu Hibban (no. 5264-at-Ta’lîqâtul Hisân), dan al-Baihaqi (IX/197).
[28]. Shahîh. HR al-Bukhâri dalam at-Târikhul-Kabîr (II/386), Ahmad (V/441), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 6083, 6084, 6187), dan al-Hakim (IV/123).
[29]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 4889) dan Muslim (no. 2054) dari Sahabat Abu Hurairah.
[30]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6135), Muslim (no. 48), Ahmad (IV/31), Abu Dawud (no. 3748), at-Tirmidzi (no. 1968), dan Ibnu Majah (no. 3675) dari Sahabat Abu Syuraih al-Ka’bi.
0 komentar:
Posting Komentar